Ahlussunnah Search Engine :

Loading

Wednesday, September 22, 2010

Adakah Tauhid Hakimiyah?

Fatwa Syaikh Muhammad Nashiruddin Al Albani rahimahullâh tentang Tauhid Hâkimiyah:

Syaikh Al Albani ditanya: Wahai Syaikh kami—semoga Allah memberkahimu—para ulama Salaf—semoga Allah merahmati mereka—menyebutkan bahwa tauhid ada tiga macam yaitu Ulûhiyah, Rububiyah, dan Asma’ wa Shifat. Maka, apakah dibenarkan jika kita mengucapkan bahwa di sana terdapat tauhid yang keempat yaitu Tauhid Hâkimiyah atau Tauhidul Hukum?

Beliau menjawab: Al Hâkimiyah adalah bagian dari Tauhid Ulûhiyah. Mereka yang mendengung-dengungkan kalimat yang muhdats tadi di zaman ini bukanlah untuk mengajari kaum muslimin tentang tauhid yang dibawa oleh para nabi dan para rasul seluruhnya, melainkan hanyalah sebagai senjata politik. Karena itu aku akan tetap menyatakan untuk kalian apa yang telah aku ucapkan tadi, walaupun sebenarnya sudah berulang kali ditanyakan dan berulang kali aku menjawabnya. Atau kalau engkau suka kita lewatkan saja apa yang sedang kita kita bahas.

Dalam satu kesempatan seperti ini aku telah menyampaikan pendukung apa yang telah aku ucapkan tadi bahwa penggunaan kata Hâkimiyah adalah pelengkap dakwah politik yang merupakan ciri khas beberapa hizb-hizb yang ada pada hari ini.

Pada kesempatan ini aku sampaikan satu kisah yang terjadi antara aku dengan salah seorang khatib di salah satu masjid di Damaskus. Pada hari Jum’at ia berkhutbah yang seluruhnya berkisar tentang Hâkimiyah bagi Allah ‘Azza wa Jalla. Kemudian ia keliru dalam salah satu masalah fiqih. Ketika selesai sholat Jum’at aku maju kepadanya, aku ucapkan salam kepadanya dan aku katakan kepadanya, “Wahai saudaraku, engkau berbuat seperti ini dan hal itu adalah menyelisihi sunnah.”

Ia menjawab, “Aku adalah orang yang bermadzhab Hanafi yang berpendapat dengan apa yang aku kerjakan itu.” Aku berkata, “Subhanallâh, engkau berkhutbah bahwa Hâkimiyah milik Allah ‘Azza wa Jalla dan kalian menggunakan kata itu hanya sekadar untuk memerangi orang-orang yang kalian anggap sebagai hakim-hakim yang telah kafir karena tidak berhukum dengan syari’at islam. Sedangkan kalian lupa pada diri kalian sendiri bahwa Hâkimiyah itu pun mencakup setiap muslim. Maka mengapa sekarang ketika kusebutkan kepadamu bahwa Rasul berbuat seperti ini, engkau mengatakan bahwa madzhabku demikian. Berarti engkau menyelisihi apa yang aku dakwahkan. Maka, kalau saja tidak karena mereka mengambil kata tersebut sebagai pengantar dakwah politik, tentu kami akan katakan “Inilah dagangan kami kembali kepada kami.”

Adapun dakwah yang manusia kami seru kepadanya di sana terdapat Hâkimiyah dan selain Hâkimiyah yaitu Tauhid Ulûhiyah sebagai tauhid ibadah yang termasuk di dalamnya apa yang mereka dengung-dengungkan. Atas apa yang kalian sebut-sebut ketika kalian mendengung-dengungkan Tauhid Hâkimiyah, maka kami menyebarkan hadits Hudzaifah ibnul Yaman bahwa Nabi shallallâhu ‘alaihi wasallam membacakan kepada para sahabatnya ayat yang mulia: “Mereka menjadikan pendeta-pendeta mereka dan ahli ibadah mereka sebagai rabb-rabb selain Allah.”(QS At Taubah: 31)

Adi bin Hatim At Tha’i mengatakan, “Demi Allah wahai Rasulullah, kami tidak pernah menjadikan mereka rabb-rabb selain Allah.” Maka beliau shallallâhu ‘alaihi wasallam bersabda, “Bukankah jika mereka mengharamkan untuk kalian apa yang halal, maka kalian mengharamkannya; dan jika mereka menghalalkan untuk kalian perkara yang haram maka kalian menghalalkannya?’ Dia berkata, “Kalau yang demikian memang terjadi.” Maka rasulullah shallallâhu ‘alaihi wasallam bersabda, “Itulah berarti kalian menjadiakan mereka sebagai rabb-rabb selain Allah.”

Kami juga menyebarkan hadits ini sampai kepada orang-orang lain hingga kemudian mereka mengembangkannya dari Tauhid Ulûhiyah atau tauhid ibadah dengan penamaan yang bid’ah dengan tujuan politik. Maka saya tidak berpendapat adanya istilah seperti ini. Kalau saja mereka mengucapkannya hanya dengan pengakuan tanpa mengamalkan konsekuensinya sebagaimana yang aku sebutkan tadi bahwa ia sudah termasuk dalam tauhid ibadah tetapi kamu lihat mereka beribadah kepada Allah sesuai dengan apa yang mereka sepakati. Dan jika dikatakan sebagaimana yang kita sebut dalam kisah tadi bahwa amal ini menyelisihi sunnah atau menyelisihi ucapan Rasul, dia berkata: “Ini madzhabku.” Al Hâkimiyah bagi Allah bukan berarti hanya menentang orang-orang kafir dan musyrik saja, akan tetapi juga menentang orang-orang yang melanggar hukum seperti orang-orang yang beribadah kepada Allah tanpa sesuai dengan apa yang datang dari Allah dalam kitab-nya dan dari Nabi-Nya shallallâhu ‘alaihi wasallam dalam sunnahnya.

Inilah yang ada dalam benakku tentang jawaban terhadap pertanyaan seperti ini.


Fatwa Syaikh Muhammad bin Shalih Al ‘Utsaimin rahimahullâh tentang Tauhid Hâkimiyah:

Syaikh Muhammad bin Shalih Al ‘Utsaimin rahimahullâh, anggota Hai’ah Kibârul ‘Ulamâ’ ketika ditanya tentang permasalahan ini (Tauhid Hâkimiyah), beliau menjawab, “Barang siapa menganggap bahwa ada bagian keempat dalam(pembagian) tauhid yang disebut Tauhid Hâkimiyah, maka orang tersebut dianggap mubtadi’. Ini adalah pembagian yang diada-adakan dan timbul dari seorang yang jahil yang tidak paham tentang perkara aqidah dan agama sedikit pun.

Yang demikian itu karena Al Hâkimiyah termasuk dalam Tauhid Rububiyah dari sisi bahwasanya Allah menghukum dengan apa-apa yang Dia kehendaki. Ia juga termasuk dalam Tauhid Ulûhiyah (dari sisi), karena setiap hamba wajib beribadah kepada Allah dengan hukum Allah. Dengan demikian Hâkimiyah tidak keluar dari tiga jenis tauhid, yaitu Tauhid Rububiyah, Tauhid Ulûhiyah dan Tauhid Asma’ wa Shifat.”

Ketika beliau ditanya tentang cara membantah mereka, maka beliau menjawab, “Saya akan membantah mereka dengan bertanya kepada mereka: Apa makna Al Hâkimiyah? Tidak lain mereka akan mengatakan: inil hukmu illa lillah (tidak ada hukum selain hukum Allah). Padahal ini adalah Tauhid Rububiyah Allah. Dia adalah Ar Rabb (Yang Memelihara), Al Khaliq (Yang Menciptakan), Al Malik (Yang Memiliki), Al Mudabbir (Yang Mengatur segala urusan).

Adapun tentang maksud dan niat ucapan mereka ini, sesungguhnya kita tidak mengetahuinya, maka kita tidak bisa memastikannya.

Fatwa Hai’ah Kibarul ‘Ulama Saudi Arabia tentang Tauhid Hâkimiyah:

Pertanyaan: Beberapa juru dakwah mulai memperhatikan dan menganggap penting sebutan Tauhid Hâkimiyah sebagai tambahan dari tiga macam tauhid yang sudah dikenal. Apakah tauhid ini termasuk dalam pembagian tauhid yang tiga tersebut? Haruskah kita menjadikannya bagian tersendiri, sehingga kita wajib mengutamakannya? Syaikh Muhammad bin ‘Abdil Wahhab telah mengutamakan Tauhid Ulûhiyah pada masanya, ketika beliau melihat manusia sangat kurang dalam tauhid ini. Imam Ahmad pada masanya juga mengutamakan Tauhid Asma’ wa Shifat saat beliau melihat kenyataan bahwa manusia sangat kurang dalam sisi tauhid ini. Adapun sekarang, manusia mulai kurang dalam mengamalkan Tauhid Hâkimiyah. Oleh karena itu wajibkah kita utamakan sisi tauhid ini? Benarkah ucapan seperti ini?

Hai’ah Kibârul ‘Ulama menjawab pertanyaan tersebut sebagai berikut:

Tauhid itu ada tiga macam yaitu Tauhid Rububiyah, Tauhid Ulûhiyah dan Tauhid Asma’ wa Shifat. Tidak dijumpai di sana macam yang keempat.

Adapun berhukum dengan apa-apa yang Allah turunkan itu termasuk di dalam Tauhid Ulûhiyah. Karena hal itu termasuk salah satu macam ibadah kepada Allah subhânahu wa ta’âlâ. Setiap macam ibadah termasuk dalam Tauhid Ulûhiyah. Oleh karena itu, menjadikan Hâkimiyah sebagai macam tauhid tersendiri adalah perbuatan muhdats (bid’ah) yang tidak pernah diucapkan oleh seorang pun dari para imam sepengetahuan kami. Bahkan ada di antara para imam tersebut meringkas pembagian tauhid menjadi dua macam, yaitu Tauhid Al ‘Ilmi Al I’tiqadi (Tauhid dalam pengenalan dan penetapan) yaitu Tauhid Rububiyah dan Asma’ wa Shifat dan yang kedua Tauhid Ai Iradi Ath Thalabi (Tauhid dalam meminta dan menunjukkan) yaitu Tauhid Ulûhiyah. Dan sebagian mereka ada yang merincinya menjadi tiga macam sebagaimana telah lewat. Wallâhu a’lam.

No comments:

Post a Comment